Dari kanan: Bule, Abdul Malik (Rektor Unsera), Muhammad Arief Kirdiat (Founder Relawan Kampung), Saya (Karnoto) dan Bule. Dok.Foto:Karnoto |
Suasana sore (16/8/2006) itu begitu cerah.Saya, Pak Arif dan Bang Malik menyusuri jalan di Kabupaten Pandeglang hingga Malingping, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, menuju sebuah tempat yang saya belum pernah mendengar apalagi melihat. Dua orang sesepuh itu adalah guru saya, Pak Arif adalah pengusaha biro perjalanan dan Bang Malik adalah wartawan (dulu) Radar Banten (Jawa Pos Group).
Perjalanan menuju tempat yang kata Pak Arif masih perawan itu pengalaman pertama saya menuju daerah Banten Selatan. Bagi saya cukup istimewa karena dilakukan tepat malam 17 Agustus 2006 meski sepanjang perjalanan tidak menemukan sesuatu yang istimewa kecuali hiburan dangdutan ala kampung. Suasana hiruk pikuk suara soundistem dan riuh warga kami temui saat melintasi Kecamatan Panggarangan, Kabupaten Lebak, tepatnya di depan Kantor Polsek Panggarangan.
Di sini kami berhenti beberapa saat untuk melihat lebih dekat apa gerangan “kegaduhan” itu. Ternyata ada lomba karoke dangdut yang diikuti anak-anak hingga remaja. Jujur acara seperti itu bagi saya tidak terlalu asing karena dilakukan juga di kampung saya, bahkan saya sering diajak teman-teman nonton acara seperti itu.
Suasana mendadak riuh dan sorak sorai makin menggema saat tiga gadis tampil di atas panggung. Mereka bernyanyi dan sesekali meliukan badanya seperti artis kontroversial Inul Daratista goyang ngebornya. Inilah cara masyarakat di kampung mengekspresikan hari kemerdekaan 17 Agustus di zaman modern.
Saat dua gadis sedang bergoyang, melintaslah puluhan siswa berseragam abu putih lengkap dengan topi. Sepertinya mereka sedang mempersiapkan upacara peringatan detik-detik proklamasi. Meski tidak biasa tapi kehadiran siswa itu tak membuat penonton mengalihkan perhatian ke siswa tersebut. Penonton tetap fokus pada gadis-gadis kampung yang semang bernyanyi dan bergoyang.
Hampir setengah jam berbaur dengan warga menjadi penonton acara hiburan tersebut. Yah, paling tidak mengingatkan kampung halaman dan masa lalu di saat remaja. Kami bertiga pun melanjutkan perjalanan seperti tujuan semula yaitu Sawarna. Suasana mulai sepi mirip di pedalaman yang tak ada listrik. Sesekali kami melihat beberapa jenis binatang melata melintas di jalan. "Tuh lihat ada ular melintas," kata Arif sambil menunjuk ke arah ular berwarna belang. Selain ular, musang pun kerap kami jumpai.
Saya sendiri tidak sempat menikmati kesunyian itu dengan sempurna karena tertidur (mohon maaf Bang Malik dan Pak Arif). Saya mulai merasakan kensunyian ketika mendengar geburan ombak rupanya sudah memasuki pintu gerbang kawasan Desa Sawarna. Disinilah kami bertiga menemui masalah, wajah Arif sebagai sopir tiba-tiba berubah tegang dan cemas karena akan melintasi jalan terjal dan rusak sedangkan mobil yang dipakai adalah sedan.
"Yang saya takutkan bukan manusia, tapi binatang," aku Arif sambil menceritakan tentang monyet-monyet yang hidup di kawasan hutan jati. Apakah sengaja menakuti-nakuti saya dan Bang Malik atau khawatir betulan saya tidak tahu, yang pasti diantara kami bertiga Pak Arif adalah orang yang sudah pernah ke tempat ini.
Kami cukup beruntung. Jalan menuju Desa Sawarna yang kami perkirakan masih rusak ternyata sudah dihotmix. Setelah merasakan ketegangan beberapa menit itu, suasana desa wisata mulai terasa. Di sepanjang kiri kanan jalan berdiri rumah-rumah penduduk dengan pagar rapi bercat nyaris seragam, hijau telor. "Bagaimana kalau kita menginap di pesantren saja," Arif menyampaikan usulan. Usulan Pak Arif jelas kami iyakan, karena mau dibantah juga kami berdua tidak memiliki pengalaman.
Kami bertiga akhirnya menginap di pesantren gobong milik salah satu ustad di desa tersebut. "Assalamualaikum," ucap kami.
"Waalaikum salam, mau kemana ini? Mari silakan duduk," jawab Pak Kiai sambil mempersilakan kami memasuki kobongan.
"Sengaja datang ke sini Pak," ujar Arif.
Sikap ramah dan terbuka Pak Kiai dan para santri membuat suasana cair. Kami pun hanyut dalam obrolan ringan dan sesekali dibumbui gelak tawa. Apalagi ketika Bang Malik menanyakan nama Pak Kiai.
"Bapak siapa namanya?" tanya Bang Malik
"Saya.... MZ-nya di Jakarta," jawab Pak Kiai sambil senyum.
Karena bingung tak tahu maksudnya, saya, Bang Malik dan Pak Arif kembali bertanya, "Siapa Pak namanya?"
"Saya.... MZ-nya di Jakarta," jawab Pak Kiai penuh teka teki.
Beberapa saat terpana, Arif tiba-tiba tertawa. "Oo... Pak Zaenuddin," kata Arif.
"Ya nama saya Zaenuddin, tapi MZ-nya ketinggalan di Jakarta," jawab Pak Kiai sambil tertawa.
Rupanya nama Pak Kiai itu sama dengan nama Kiai Sejuta Umat KH Zaenuddin MZ. Hanya, yang bersangkutan tidak memakai huruf MZ di belakang namanya.
***
Ke esokan harinya kami bertiga bertandang ke rumah Pak Kiai atas permintaan beliau sendiri (supaya ga salah persepsi nih, nanti disangka azaz manfaat). "Ayo, kita ke rumah dulu," ajaknya.
Di rumah yang sederhana itu kami disuguhi teh panas dengan panganan kripik pisang. "Ya, seperti inilah kondisi kami, seadanya. Jadi mohon maaf jika kami tidak bisa melayani dengan baik," kata Pak Kiai merendah.
"Sudah pak, ini juga lebih dari cukup. Apalagi kami diizinkan menginap di pesantren," ujar Arif basa basi yang sudah basi sebenarnya. Setelah mengobrol beberapa saat, kami pamit untuk persiapan melakukan perjalanan ke pantai. "Nanti, kalau ada apa-apa hubungi saja Mustofa, pagi ini saya juga akan ikut upacara bendera," kata Pak Kiai. Kami pun berkemas.
Pantai Ciantir adalah kawasan pantai yang hendak kami tuju. Untuk sampai di pantai yang terkenal sebagai tempat surfing itu, kami harus melintasi jembatan goyang dan melewati perkampungan penduduk.
Sekitar 200 meter dari pantai, tiba-tiba kami dihadapkan sebuah pemandangan unik. Di tengah kawasan berumput yang kami lalu, terlihat jejeran ban-ban yang dicat putih memanjang hingga mencapai ratusan meter. ’’Wah, ini sih lapangan udara," kata Arif, seraya bercerita ia pernah mendarat di bandara perintis di Pulau Kalimantan persis seperti yang dilihatnya di Sawarna.
Dugaan pun muncul. "Bisa jadi ini tempat pendaratan pesawat kecil yang dibuat para turis asing. Apa pemerintah sudah tahu ya," ujar Arif setengah bertanya.
Setelah mengamati sejenak, kami kembali melanjutkan perjalanan. Tepat di bibir pantai berdiri Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dengan beberapa bangunan panggung mirip home stay. Sayang, pagi itu suasana TPI sedang sepi. "Nggak ada siapa-siapa di sana (di TPI)," ujar seorang pelintas yang berpapasan dengan kami.
Yang tragis adalah bangunan-bangunan mirip home stay itu. Selain tak berpenghuni, bangunan-bangunan tersebut sama sekali tidak terawat dan kumuh. Beberapa bagian bangunan mengelupas, atap pun banyak yang ambrol. "Padahal bangunan ini dibangun dengan dana APBD Provinsi," kata Arif sambil geleng-geleng kepala.
Setelah melihat-lihat sekeliling bangunan, kami menuju pantai. Selain pemandangannya yang indah dan asri, deburan ombak yang memecah sepi, serta sepanjang pantai berbatu karang dengan lumut hijaunya yang khas, semakin membuat kami tertarik mendekat. "Pantas saja banyak turis asing banyak yang datang ke sini. Habis indah sih," kata saya yang mulai menyesuaikan dengan alam .
Ketinggian ombak yang mencapai lebih dari dua meter memang membuat para petualang pantai asal Australia, Eropa, Amerika, dan beberapa negara Asia tertarik datang. "Bali dan Nias saja kalah. Sayangnya belum dikelola maksimal," kata Arif.
Selain ombaknya, karang luas yang menghampar di bibir pantai juga membuat keasyikan tersendiri bagi wisatawan. Sebab, di sela-sela karang itu banyak terdapat lubang besar yang membentuk kolam dengan ikan beraneka ragam. "Lihat tuh ikan apa itu," tunjuk Karnoto.
Di kawasan karang kami menjumpai seorang penangkap lobster. Ia tengah asyik menyiapkan umpan. "Dapat nggak Kang lobsternya," tanya penulis.
Puas berbincang dengan Jefri kami mengalihkan perhatian ke tengah pantai. Di tengah deburan ombak yang berkejaran, dua orang turis asing tengah asyik bersurfing ria. Sementara, nun di salah sudut pantai, empat orang bule tengah bersiap dengan alat surfing-nya.
Keempat bule itu kami datangi. "Hallo mister," sapa Arif sok kenal gitu.
"Hallo...!" kata salah seorang dari mereka.
Keempat bule itu adalah warga Australia. Mereka sengaja datang ke Sawarna khusus untuk surfing. Pantai Ciantir, Desa Sawarna, kendati belum dikelola maksimal, memang sudah cukup dikenal oleh para turis asing terutama dari Australia, khusunya bagi penggila surfing. Menurut Mustofa, guide lokal yang lancar berbahasa Inggris, para turis itu bisa tinggal di Sawarna antara satu hingga dua minggu.
Setelah berfoto bersama dan sedikit berbasa-basi, kami melanjutkan perjalanan ke Tanjung Layar. Tanjung Layar adalah karang besar yang membentuk seperti bangunan kuno mirip peninggalan masa prasejarah. Suasana semakin eksotis manakala karang yang berdiri gagah itu dihantam ombak. Perjalanan kita akhiri di Gua Lalay.
# Pantai Sawarna, Kabupaten Lebak
Social Footer