Rutinitas pekerjaan selama enam tahun membuat otak saya seperti batu, fisik seperti robot yang hanya menunggu perintah si empunya. Orang menganggap pekerjaan wartawan penuh kebebasan, sesuka hati dan warna-warni. Anggapan ini tidak salah jika dilihat dari mobilitasnya, dimana pagi hari di hotel A, siang di rumah makan B dan malam di kantor C. Tetapi anggan seperti itu menjadi keliru besar bagi tipikal orang seperti saya yang menginginkan “kemerdekaan” hakiki. Untuk mendinginkan suasana dan mengembalikan energi ilmiah saya melirik pada suasana kampus, dimana dulu saya pernah alami semasa kuliah.
Niat kembali melanjutkan studi sejak lama saya rencanakan tapi karena kondisi keuangan tidak memungkinkan maka ditunda. Waktu itu saya masih mengkontrak rumah dengan sewa Rp 250 ribu per bulan padahal sudah 2,5 tahun menjadi wartawan. Melihat gaji dan tidak ada tambahan pendapatan lainnya memaksa menunda studi meski keinginan saya begitu menggebu-gebu.
Satu tahun kemudian, yaitu tahun 2010 cita-cita melanjutkan studi akhirnya terlaksana. Universitas Mercu Buana, Jakarta, Fakultas Ilmu Komunikasi, Jurusan Marketing Communication Advertising, itulah kampus baru yang menjadi energi baru dalam episode kehidupan di usia kepala tiga. Subhanallah, di kampus ini saya ditemukan dengan rekan-rekan kuliah yang kompak, energik, baik dan memiliki ikatan emosional yang kuat meskipun kami tidak saling mengenal sebelumnya.
Di sini saya ditemukan dengan Pak Simon, pria keturunan Tionghoa yang kaya raya tapi sederhana. Ia adalah penyantun salah satu kampus di Singkawang, Kalimantan. Anaknya Pak Simon sendiri kuliah di Singapura dan hampir setiap hari kami ditraktir makan. Tak hanya itu, beberapa mahasiswa sekelas angkatan 18 MarCom termasuk saya pernah diberi “beasiswa” oleh Pak Simon ketika harus pusing tujuh keliling membayar uang kuliah menjelang ujian.
Pak Simon merupakan mahasiswa tertua ketika itu di angkatan saya yaitu angkatan 18. Sahabat kampus saya lainnya ada sepasang suami istri, mereka berdua kompak dan mirip seperti orangtua kami yang selalu memberikan support dan jalan keluar setiap kita menghadapi persoalan, baik tentang keuangan, tugas kampus termasuk acara liburan. Sri Budianti, biasa disapa Mba Yanti bersama sang suami begitu semangat studinya meski di tengah kesibukannya. Terus terang saya banyak belajar dari mereka berdua.
Di kampus ini saya dan sahabat sering diskusi baik perihal tugas kampus maupun hal lainnya. Apalagi metode pembelajaran di kampus ini juga menggunakan metode diskusi. Setiap bab mata kuliah dibahas dipresentasikan secara berkelompok dan lainnya bisa menanggapi sajian presentasi kelompok yang mendapat giliran maju ke depan.
Energi saya secara jiwa mendapat hentakan meski secara fisik saya harus merasa kelelahan, karena saya harus berangkat jam 6 pagi dan pulang jam 7 malam. Ini saya alami dua hari dalam sepekan yaitu Sabtu dan Minggu, karena saya mengambil kelas karyawan. Sebuah pengorbanan waktu, pikiran, tenaga dan finansial yang luar biasa tapi saya merasa terbayarkan dengan ilmu yang didapatkan dari kampus.
Sayang, lagi-lagi saya impian untuk menjadi sarjana tertahan pada tahun ketiga karena saya berhenti bekerja sebagai wartawan dan pulang kampung ke Brebes, Jawa Tengah. Rumah idaman di Kota Serang kami jual, motor juga dijual. Mungkin ini takdir Tuhan yang harus saya nikmati, sang kuasa mungkin memiliki rencana lain. ***
# Kampus UMB, Jakarta
Social Footer