Menjadi jurnalis itu akan menemukan dan merasakan sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terfikirkan.
Sejak kecil sampai lulus SMA saya tidak mengenal profesi jurnalis, sama sekali ! Ketika itu yang saya kenal seperti anak - anak di kampung pada umumnya, seperti dokter, tentara, guru dan profesi lain yang umum. Dan terus terang saja ketika kecil saya justru terobsesi menjadi tentara karena mata saya waktu melihat dari jarak dekat wujud seorang tentara.
Di kampung saya paling ngehits waktu itu adalah menjadi tentara karena kebetulan di kampung banyak yang menjadi tentara. Mungkin kalau di kampung saya banyak yang menjadi jurnalis saya juga akan terobsesi menjadi jurnalis.
Mimpi jadi tentara sebenarnya hanyalah sebuah keinginan tetapi tidak didukung oleh kemampuan, mulai berat badan khususnya tinggi badan.
Cita - cita itu pun terkubur SMA karena menurut literasi yang saya baca usia SMA itu batas maksimal tinggi seorang laki - laki, apakah benar atau tidak saya tidak tahu persis.
Sampai suatu ketika saya lulus SMA dan merantau di Kota Serang, Provinsi Banten tahun 1999. Semester pertama saya masih gelap mau jadi apa sebenarnya. Baru memasuki semester kelima saya mengikuti sekolah jurnalistik yang diadakan Radar Banten Institute.
Saya pun ikut dengan niat awal sih cuma ingin belajar menulis tetapi setelah pelatihan selesai sekira tiga bulan saya direkrut menjadi wartawan magang di media mainstream milik Jawa Pos Group ini.
Ini dunia baru sebenarnya untuk saya dan tidak pernah ada dalam memori impian saya menjadi seorang jurnalis. Sebulan, tiga bulan sampai enam bulan saya ikuti irama bekerja menjadi seorang jurnalis.
Terus terang benar - benar "terisiksa" sebenarnya tapi waktu itu ya sudahlah mungkin sudah menjadi takdir saya akhirnya mencoba berusaha menyesuaikan. Setahun dua tahun akhirnya saya pun resmi menjadi jurnalis di media lokal ini.
Dulu sih saya dikenal oleh rekan - rekan wartawan desa karena suka keliling desa, ke kampung - kampung dan sering menemukan berita yang tidak didapatkan oleh wartawan lain.
Makanya saya cukup mengenal akrab dengan wilayah di Kabupaten Serang karena sejak ditugaskan sampai saya berhenti hanya di wilayah ini, tidak pernah pindah - pindah.
Sampai akhirnya saya ditarik untuk ngepos di pemerintahan, mulai dari pendopo bupati sampai gedung dewan. Dari sinilah saya mengenal tentang kekuasaan, tentang politik dan tentang birokrasi.
Di sini saya akrab dengan para pejabat mulai dari bupati, anggota dewan, kepala dinas hingga tukang parkir sampai ibu di kanting dan penjual minuman dan rokok di kawasan pemerintahan Kabupaten Serang.
Dari sini juga saya sering diajak ke luar kota saat kunjungan kerja anggota parlemen, mulai ke Bali, Surabaya, Solo, Jogjakarta dan sejumlah daerah lainnya. Pernah suatu ketika mau diajak ke Perancis tetapi saya menolak karena beberapa hal.
Sebagai Ketua Kelompok Kerja Wartawan Harian Kabupaten Serang saya cukup akrab dengan teman - teman wartawan lain. Becanda, diskusi, iseng - iseng dan apa saja yang kira kira tidak bikin jenuh.
Benar kata Pak Priyo Susilo, bos saya di Radar Banten pernah mengatakan bahwa menjadi jurnalis itu nanti banyak hal yang sebelumnya tidak pernah terfikirkan bisa dinikmati, seperti naik pesawat, naik helikopte, ngobrol santai dengan pejabat dan banyak hal lainnya.
Dan ini benar - benar saya rasakan, termasuk sesuatu yang pahit juga kita rasakan, seperti diomelin orang, diancam, dikiting apalagi cuma sekadar diprotes, itu pun saya rasakan sendiri.
Sampai saya suatu ketika sering sakit karena tipes akhirnya saya memutuskan pulang kampung ketika tahu akan dipindahkan ke Kota Cilegon. Mungkin sudah usianya sehingga fisik tidak begitu mendukung lagi.
Dua tahun di kampung saya tidak betah dan merantau lagi di Jakarta dan bekerja di majalah Warta Ekonomi. Di media ini berbeda 180 derajat dengan ketika saya dulu di Radar Banten.
Di majalah ini saya keliling dari hotel ke hotel karena memenuhi undangan, mulai dari Kawasan Kuningan Jakarta, SCBD dan kantor - kanto kementerian.
Karena media ekonomi jadi relasinya juga mayoritas hal hal terkait ekonomi dan bisnis. Disini saya sering bertemu dengan tokoh - tokoh yang sering muncul di layar televisi, sering ngobrol dengan pebisnis China karena harus wawancara. Tapi saya tidak kuat karena waktunya habis di perjalanan, tidak kuat dengan macetnya.
Bayangkan saja, saya pulang kantor dari Kawasan Senen, sekira jam 16.00 WIB dan baru sampai rumah di Kawasan Perumnas Kota Tangerang sekira jam 21.00 bahkan hingga jam 22.00 WIB. Luar biasa capenya dan saya pun memilih berhenti dan kembali lagi ke Kota Serang, Banten.
Disini saya memulai lagi dari nol, benar - benar dari nol karena tidak memiliki aset di kota ini. Aset yang dulu pernah ada sudah saya bawa pulang ke kampung dan sebagian dijual termasuk rumah.
Beruntung saya meninggalkan masa lalu yang tidak buruk kepada relasi saya sewaktu masih menjadi wartawan di Radar Banten sehingga masih bisa berkomunikasi sampai sekarang.
Alhamdulillah ! Itulah sekelumit kecelakaan sejarah dalam hidup saya menjadi seorang jurnalis yang membawa berkah.
Social Footer