Breaking News

Menjadi Warga NU Cultural

 

Bersama anggota Banser Kabupaten Serang, Provinsi Banten saat acara pelantikan Pengurus MUI Kabupaten Serang di salah satu pondok Pesantren Tunjungteja tahun 2021. Dok/Foto:NotoStory

Lucunya lagi, ada temen saya pacaran dan dua - duanya yang buatkan surat saya karena diantara mereka tulisan saya yang paling bagus. Jadi meski tidak pacaran tapi menjadi juru tulis surat cinta.

Masa kecil sampai remaja saya kental dengan darah NU. Belajar tajwid, belajar baca Al Qur'an dengan ustadz NU. Di kampung saya juga rutin mengikuti jamiahan pemuda dan beberapa kali menjadi tuan rumah karena memang digilir ke semua anggota.

Baca Barzanji, tahlilan sangat akrab dengan pribadi saya dan cukup mengakar sampai sekarang. Walau pun sebenarnya di kampung saya sendiri kalau partai kuat dengan Golkar dan PDI Perjuangan.

Makanya saya belajar mengaji di usia SMP sampai SMA itu di ustadz tetangga desa yang memang dikenal dengan NUnya. Di daerah ini semua struktur NU hidup, berbeda dengan di kampung saya.

Dulu, saya ngaji Al Qur'an ke Desa Dukuh Rantam, Kecamatan Larangan, Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah. Desa ini kurang lebih lima kilometer dari kampung saya. Saya senang karena berangkat ramaian dengan memakai alat transportasi sepeda.

Selain mengaji ada juga bumbu - bumbu cinta diantara murid guru saya termasuk teman - teman saya kecuali saya sendiri. Entahlah, saya sejak dulu memang anti pacaran. Bukan karena tahu kalau pacaran tidak dibolehkan dalam Islam, tetapi lebih kepada prinsip hidup saya saja. "Saya inginnya ketemu cewe, cocok langsung jadian, menikah" begitu dalam benak saya saat remaja.

Uniknya, meski tidak pernah pacaran tapi saya tahu bahasa hiperbola percintaan tempo dulu di era 90-an. Karena saya yang suka buatkan surat teman - teman ketika membalas surat cinta dari cewenya.

Lucunya lagi, ada temen saya pacaran dan dua - duanya yang buatkan surat saya karena diantara mereka tulisan saya yang paling bagus. Jadi meski tidak pacaran tapi menjadi juru tulis surat cinta.

Sebenarnya ada upaya dari teman - teman yang sesama menjadi murid ngaji menjodoh - jodohkan saya dengan salah satu muridnya. Seingat saya sampai saya dikirimi dua surat cinta tapi tidak pernah saya balas (Maaf ya, maaf banget). 

Bukan karena dia tidak cantik dan pinter ngaji tapi memang prinsip hidup dari dulu saya itu adalah ga mau pacaran meski waktu itu saya tidak tahu kalau pacaran  tidak dibolehkan dalam Islam. Jadi, itu mah prinsip hidup nasionalis saya saja sih.

Dari keakraban saya selama belasan tahun dengan NU, diantaranya adalah bagaimana mengaji itu tidak menyeramkan, santai bahkan ada selingan lucu - lucunya. Makanya saya tidak heran ketika mendengarkan kyai atau ustadz NU ceramah ada lucu - lucunya.

Waktu masa SD saya belajar baca Qur'an di Pak Asbad, semoga Allah SWT menempatkan beliau di surga. Beliau mengajari kami ngaji dan punya mushalla namanya Al- Barokah. Jaraknya cuma 100 meter dari rumah saya, lebih dekat daripada masjid.

Semasa SMP dan SMA baru saya belajar ngaji ke ustadz di tetangga kampung seperti yang saya tulis sebelumnya. Sebetulnya saya pernah sekolah madrasah diniyah juga tapi tidak sampai selesai, jadi urusan tajwid dan baca arab gundul memang saya jauh dan tidak menguasai.

Dari perjalanan itulah saya berani mengatakan bahwa saya adalah NU Cultural. Dekat dengan NU tapi tidak pernah menjadi pengurus organisasi NU. Semoga diusia satu abad tahun 2023 ini NU menjadi  organisasi yang istiqomah mencerahkan ummat, lekat dengan karakternya dan menjadi pelopor soal perdamaian.

Soal politik NU dari dulu elegan karena ada orang NU yang ke Golkar, PPP termasuk menjadi kader PDI Perjuangan. Jadi biasa saja! 

Sebagai NU Cultural sebenarnya saya rada - rada prihatin dengan situasi belakangan ini karena dalam sejumlah kasus diseret - seret ke persoalan yang sejatinya NU tidak terbawa. Semoga masa - masa ujian ini cepat berakhir dan NU kembali menjadi pelopor perekat persaudaraan khususnya antar Muslim, Aamiin.

Kota Serang,
Rabu, 8 Februari 2023

Type and hit Enter to search

Close