Breaking News

Napak Tilas Anak Terminal

 

Dok/Foto:Pribadi

Jadi dulu di kampung saya yang sekolah itu bisa dihitung dengan jari. Teman sepermainan saya lulus sekolah dasar langsung merantau, ada yang ke Jakarta, Bogor, Bekasi, Depok dan Bandung. Bahkan ada yang ke luar Pulau Jawa.

Jualan atau istilah kerennya bisnis tidak cukup dengan modal uang tapi juga dibutuhkan mental. Mental tahan banting, mental tidak pemalu termasuk mental untuk menagih. Sebab kalau mental itu tidak dimiliki maka potensi gulung tikarnya besar dan cepat.

Ini yang pernah saya alami beberapa tahun silam sekira tahun 1999-an. Waktu itu saya lulu SMA dan langsung merantau ke Kota Serang untuk usaha. Bukan apa - apa, kenapa tujuan utama saya usaha ini juga ada sejarahnya.

Jadi dulu di kampung saya yang sekolah itu bisa dihitung dengan jari. Teman sepermainan saya lulus sekolah dasar langsung merantau, ada yang ke Jakarta, Bogor, Bekasi, Depok dan Bandung. Bahkan ada yang ke luar Pulau Jawa.

Nah, setiap Lebaran saya suka iri dengan teman - teman sepermainan yang merantau itu. Mereka pulang dengan pakaian bagus, baju baru, duitnya juga banyak. Sementara saya tidak punya duit karena disaat temanku usaha saya sekolah.

Seinget saya di tahun 1990-an di kampung hanya tiga orang yang sekolah SMP dan ditingkat SMA lebih sedikit lagi. Dari situlah saya ingin merantau tapi bukan kuliah melainkan usaha atau dagang.

Tahun 1999 saya lulus SMA dan langsung merantau ke Kota Serang, Provinsi Banten. Dan saya dibekali satu kios di Terminal Pakupatan, terminal terbesar di Banten. Waktu itu bapak saya bukan hanya ngasih modal kios namun berikut isinya, yaitu barang kebutuhan pokok.

Sayangnya usaha ini bertahan dua tahun karena bukanya untung tapi setiap tahun justru nambah modal, terkadang 20 juta kadang 30 juta. Gara - garanya barangnya habis tapi duitnya tidak ada, ha ha ha .

Kok bisa begitu? Ceritanya begini, saya itu orangnya tidak enakan jadi kalau ada orang terminal yang ngutang saya ga enak nagihnya sementara sisi lain kehidupan terminal jelas berbeda dengan kehidupan di lingkungan lain, seperti perumahan atau lainnya.

Misalkan ada orang penjual terus bon barang ke kios saya dan dikasih. Dicatat dong pastinya, dan saya masih inget nyatatnya juga di buku khusus dan dirangkap kertas bekas slop rokok. Tapi sayangnya cuma dicatat ga enak nagihnya. Apalagi kalau ada yang ditagih galak, wah itu saya pasti mundur, mending ilang duit daripada harus berantem atau cekcok urusan duit.

Terkadang juga lucu. Ketika ada yang beli sesuatu dan saya lupa harganya saya seringkali nanya balik ke pembeli. "Biasanya kalau beli berapa, ya udah disamain saja," kata saya ke pembeli. Lagi - lagi ini lingkungan terminal yang jelas kehidupanya berbeda jauh dengan komunitas pengajian. 

Karena tidak kuat lagi nyuntik dana akhirnya kios itu saya jual ke orang lain. Dan ini menjadi pengalaman berharga dan bagian sejarah hidup saya selama merantau di Kota Serang. Bahwasanya menjadi pengusaha itu tidak cukup bermodalkan uang, tapi juga dibutuhkan mental. 

Suasana Subuh di Terminal
Karena hobi jalan - jalan, pagi - pagi usai shalat Subuh saya iseng - iseng jalan ke Terminal Pakupatan. Kebetulan jarak dari rumah tidak jauh, kurang lebih 10 menitan sudah sampai. 

Saya jalan dan duduk di sebuah kios yang dulu pernah menjadi bagian sejarah hidup saya selama merantau di Kota Serang. Suasananya lengang, terlihat beberapa bus dan mobil dalam kota terparkir di beberapa sudut terminal.

Gedungnya memang baru direvitalisasi sehingga terlihat wah, meski tidak berbanding lurus dengan omset para pedagang di sekitar gedung tersebut. "Sepi banget, gedungnya mah baru tapi sekarang mah sepi," kata salah penjual toko klontongan.***

Kota Serang,
Jum'at, 15 Maret 2024

Type and hit Enter to search

Close